Sabtu, 05 Februari 2011

Impian Terakhir

Inginku tak satu pun mahluk hidup di bumi yang tak mengenalku...sederhana; dapat merasakan kedekatan dalam setiap emosi yang hidup..
.....

Selasa, 19 Januari 2010

Krisis Akademik

Surat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi tentang belum adanya perpanjangan izin operasional jurusan pendidikan Fisika yang ditujukan ke IKIP Mataram menjadi “tamparan” nyata pendidikan di NTB.

Jurusan yang telah berakhir status izin operasionalnya pada 12 April 2008 ini baru menampakkan reaksi dan aksi pihak lembaga dan mahasisiswa sejak awal Januari 2009. Tanggapan yang mengharapkan “(re)status” itu terlihat massif dalam dialog-dialog. Namun, dialog-dialog yang diadakan pihak lembaga oleh mahasiswa dianggap belum mampu memberikan jawaban pasti tentang nasib Fisika yang baru berusia lima semester itu. Hal tersebut tentu menambah keresahan mahasiswa mengingat kasus pembubaran tiga jurusan (PGTK, Pendidikan Bahasa Jerman, dan Pendidikan Seni Rupa) di IKIP pada tahun 2006 karena tidak layak secara akademik.
Di berbagai perguruan tinggi, hal-hal yang menjadi biang masalah tidak terlepas dari sistem/statuta yang mengaturnya. Sistem yang begitu ketat terkadang tidak sesuai dengan pola pendidikan baik yang terkait dengan pengajarannya, fasilitas belajar, sampai pada hal-hal yang sifatnya merepresivitas kebebasan mimbar akademik, pembunuhan karakter baik satuan pendidikan itu sendiri maupun hakikat dasar manusia sebagai homo educandus (manusia dididik) dan homo educandum (manusia yang mendidik) yang sekaligus membedakannya dengan mahluk lain.
Satuan pendidikan tinggi sering terjebak pada persoalan ekonomi dan sistem otonomi kampus yang memberikan ruang untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas akademik secara mandiri. Dari pengertian otonomi, satuan pendidikan merasa bebas menentukan pola pendidikannya baik dengan cara menerima peserta didik maupun membuka jurusan sekehendaknya termasuk sistem administrasi dana operasional. Konsep otonomi tidak diimbangi dengan infra dan suprastruktur akademik sehingga tidak jarang mengakibatkan proses pelaksanaan akademik menjadi tidak terurus. Efeknya proses pelaksanaan dan proses pembelajaran berakibat pada rendahnya kualitas.
Di sisi lain, otonomi terikat pada ketentuan umum yang diatur oleh pusat (dikti) dan peraturan perundang-undangan sisdiknas yang mengatur secara seragam seluruh sistem pendidikan dari dasar hingga tinggi dengan tujuan menentukan arah cita-cita pembangunan Indonesia secara bersama dan terukur selain mempermudah proses evaluasi secara nasional tingkat kemajuan dan perkambangan kualitas pendidikan. Evaluasi ini kemudian menentukan otoritas dikti/pemerintah pusat untuk memberikan izin operasional membuka dan membubarkan jurusan/pendidikan yang sudah tidak dianggap layak pada satuan pendidikan. Ini sekaligus menjadi batas ruang otonomi itu sendiri, yang termasuk dalam sistem undang-undang yang mengatur syarat-syarat operasional membuka jurusan yang di dalamnya seperti perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa, kualifikasi akademik bagi dosen yang berhak mengajar, kelengkapan fasilitas yang mendukung, studi kelayakan masyarakat dan berbagai administrasi mahasiswa dan satuan pendidikan yang menjadi bahan akreditasi.
Ketidakseimbangan sistem dan fungsi akademik di atas dapat menimbulkan masalah pelaksanaan operasional satuan pendidikan yang mengarah pada terjadinya krisis akademik.
Krisis muncul sebagai pengejawantahan dari hilangnya rasa ketidakpercayaan oleh satu pihak terhadap pihak lain atau dari yang memberikan kepercayaan kepada yang menjalankan kepercayaan. Satu contoh sederhana adalah ketidakpercayaan pada hasil dialog.
Diaolog adalah interaksi percakapan antara dua orang atau lebih dalam membahas suatu permasalahan. Esensi dialog telah dikenal sejak zaman Yunani yakni oleh Plato digunakan sebagai metode pendekatan pembelajaran dan penyelenggaraan simposium mengenai masalah-masalah filsafat, kesusilaan, kesenian, kemasyarakatan dan kenegaraan, yang membedakannya dengan pendekatan yang digunakan Aristoteles yaitu melakukan pendekatan belajar secara peripatetika, yaitu dengan mengajak murid-muridnya berjalan-jalan sambil mengamati dan melakukan klasifikasi berbagai gejala dan peristiwa alam. Dengan demikian dialog merupakan pertukaran pikiran mengenai berbagai permasalahan dengan menggunakan bahasa/tuturan sebagai media yang membedakannya dengan komunikasi tuturan yang tidak menggunkan bahasa (lisan) seperti gerak/tari.
Dikatakan dialog apabila perkatan dimengerti oleh teman/lawan bicara dan adanya saling mempercayai dari apa yang telah didialogkan. Tentu tuturan yang dapat dipercaya dan dipegang serta dijadikan sebagai kerjasama antara pembicara dengan lawan bicara adalah perkataan yang benar yang dapat dibuktikan secara akal-pikiran dan secara nyata/empiris.
Ketidakpercayaan dari hasil dialog atas masalah yang diperbincangkan adalah satu bentuk krisis yang muncul akibat ketidaksesuaian dari apa yang telah diperbincangkan sebelumnya. Sedangkan hal-hal yang dilakukan seperti dialog tetapi tidak memenuhi kriteria materi pokok konsep dialog itu adalah sesuatu semacam “curhat”. Dialog bukan pula “curhat yang terlokalisasi”.
Aksi IKIP adalah krisis akademik yang terjadi dilingkungan pendidikan yang menganggap diaolog belum menemukan titik terang permasalahan. Tidak heran aksi mahasiswa yang terjadi adalah bentuk ketidakpercayaan atas hasil dialog tersebut.
Walaupun bentuk aksi tidak seperti tragedi yang disebut mahasiswanya sebagai “IKIP Berdarah” atau “tragedi 22 Agustus 2006” yang menewaskan M. Ridwan dan beberapa mahasiswa luka-luka berat dan ringan yang terkena tusukan tajam oleh “pengaman bayaran” serta penangkapan 23 orang mahasiswa.
Kini Jurusan Pendidikan Fisika terancam pembubaran. Dialog terbuka yang diadakan tanggal 16 Januari sebagai pendekatan yang masih diyakini mampu memberikan penjelasan dan titik terang permasalahan ternyata tidak memberi keputusan dan kesepakatan yang jelas.

Cerita Aksi di Luar Tembok IKIP
Sabtu, 17 Januari, sekitar pukul 10-11.30 WITA, saat saya duduk-duduk ngudut di kantin FKIP setelah selesai diskusi revisi RUU BHP 17 Desember 2008 di Unram, tiba-tiba muncul berlarian puluhan mahasiswa dari gerbang kantin MITA, di depan FKIP Unram. Mahasiswa itu dikejar-kejar oleh scurity IKIP. Sampai di kampus Unram ini, mereka kumpul sejenak dan terlihat saling mengkoordinasikan gerakan mereka, spontan mengambil batu-batu sebesar genggaman lantas saling lempar dengan scurity yang menyebabkan beberapa kaca gedung perkuliahan IKIP yang baru selesai dibangun tiga tahun silam itu pecah. Aksi lempar tidak lama kemudian mampu diamankan oleh bantuan scurity FKIP dan aksi bubar. Namun, selang waktu 20-an menit, mahasiswa-mahasiswa itu datang kembali lalu melanjutkan aksi lempar.
Aksi lebih memanas. Mahasiswa FKIP yang tahu tadinya hanya yang kebetulan duduk-duduk diparkiran, kini lainnya ikut berlarian dari berbagai ruangan menonton aksi kedua. Suasana tambah ramai, ketegangan memuncak sendiri dalam diam dan tontonan mahasiswa-mahasiswa FKIP. Gambaran aksi terlukiskan senyap dan menegangkan walaupun terkadang beberapa kali mahasiswa FKIP memberikan tepuk tangan dan sorakan seolah-olah memberi semangat.
Di tengah suasana itu, beberapa scurity Unram datang “ikut campur” untuk mengamankan. Ini dilakukan karena menurut pejabat yang mengomandoi, M. Nasir SH, MH, pejabat Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Unram, menganggap aksi itu di wilayah unram. Karenanya membuatnya beralasan mengusir aksi. Sedangkan Scurity IKIP hanya bisa diam mengintai dari tembok pembatas antara kedua kampus ini—tembok pembatas administrasi.
Suara megafon dan beberapa scurity Unram yang dikomandoi belum mampu menetralisir. Beberapa kali terdengar teriakan “kata-kata mengusir” oleh Nasir, “pulang…pulang….ini wilayah unram, kalian enggak boleh demo di sini”. Tidak hanya itu, beberapa kalimat bernada mengusir, tidak pantas dan tidak logis sempat diucapkan sekelas pejabat. Walau begitu mahasiswa merasa belum puas. Baru setelah pejabat Unram lainnya; M. Faruk, Kabag. Kemahasiswaan Unram dan M. Ismail, PD III FKIP datang ikut mengusir. Mahasiswa akhirnya mundur dan beberapa di antaranya mencari jalan lain untuk mendekati gedung IKIP.
Scurity IKIP yang tadinya hanya bisa menonton dan mengintai di balik tembok setinggi kira-kira satu setengah meter tiba-tiba meloncat, mengejar mahasiswa yang mendekat sampai lapangan bola voli pasir. Melihat tindakan itu, mereka (scurity IKIP) diusir juga oleh pejabat Unram. Pengusiran ini menimbulkan percekcokan antara M.Nasir dan scurity IKIP, masing-masing dengan alasan; pejabat unram dengan wilayahnya sedangkan scurity IKIP menganggap scurity unram tidak mampu mengamankan massa aksi yang tetap mendekati gedung IKIP. Masih di Unram, tidak lama polisi dan Satpol PP datang menetralkan keadaan.
Massa aksi terlihat berdiri di bawah pohon jati, belakang gedung JPKMK yang jaraknya dari tempat percekcokan kira-kira 30-an meter. Massa yang masih berdiri perlahan satu persatu bubar.

Bahasa Sebagai Landasan Memahami Sikap Manusia
Satu kesan yang bisa menjadi renungan. Adalah perkatan M. Nasir yang kedengarannya tak logis dan tak pantas dijadikan main-main ketika membubarkan aksi, yakni perkataan, “….kalian pulang, ini wilayah Unram, kalau tidak mau…saya bisa memprovokasi mahasiswa saya untuk mengusir kalian”. Begitu teriaknya berulang-ulang sambil menenteng megafon. Mendengar kata-kata itu, (kontan) mahasiswa FKIP pada ketawa.
Kok tertawa? Manusia normal biasanya tertawa ketika melihat dan mendengar atau merasakan sesuatu yang lucu. Lantas, dimanakah letak keberterimaan kata memprovokasi, mengusir, direspon dengan ketawa?
Kalimat mengusir itu merupakan kalimat ancaman/intimidasi. Bisa juga berarti ingin mengajak baik-baik tanpa dengan kekerasan (diadu). Dan respon “ketawa” sendiri seolah-olah mahasiswa (FKIP/unram) memahami dirinya sebagai intelektual yang tidak mudah dimanfaatkan. Sampai di sini dapat dipahami berbagai interpretasi bisa saja muncul dan dibenarkan. Hanya saja terkadang rasional namun belum tentu masuk akal. Dan itu masih interpretasi! Artinya bukan berarti tidak ada konsep bahasa untuk menganalisis kebenarn tunggal makna sebuah kalimat.
Kebenaran tunggal interpretasi atau hipotesa akan pasti jika ia dikaji dan diuji secara ilmiah. Persoalan ini adalah masuk dalam kajian bahasa/linguistik.
Sama halnya ketika kita perhatikan fenomena-fenomena penggunaan bahasa yang dianggap kasar dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam komunitas-komunitas tertentu ketika memanggil atau menjawab dengan kata-kata yang tidak dianggap baik tetapi efek yang ditimbulkan sebagai respon kata kasar itu sepertinya tidak ngaruh bahkan seakan-akan menandakan hubungan yang sangat akrab, seperti maaf; kalimat bahasa Lombok (mbe lekan mek sundel?/dari mana kamu sundal?). Kata sundel ini tidak ngaruh sama sekali, ironinya kata itu sering diikuti dan direspon dengan ekspresi ketawa. Dan kedekatan (pergaulan, persahabatan) mereka kelihatan bisa diukur/dipahami.
Kasus kebahasaan di komunitas masyarakat Sasak itu merupakan fakta secara sosial. Akan tetapi penggunaan kata-kata kasar tersebut bukan berarti kata-kata yang bebas dari nilai, norma, dan moral yang berlaku di masyarakat. Ia tetap terikat dalam konteks (situasi/kondisi/siapa dan pada apa) penggunaannya sehingga bahasa dikategorikan baik atau kasar, rasional atau logis. Lantas apa kaitannya dengan dengan kasus kebahasaan yang direspon “para penonton aksi” dengan tertawa?
Kita tahu, bahasa adalah masalah yang cukup pelik, karena kasus tuntutan berat juga sering terjadi gara-gara persoalan bahasa. Bahkan kalau mau membuka wawasan, sumber konflik di muka bumi ini selalu berakar dari bahasa. Pertentangan antara ide dan materi, mistikasi dan persimbolan yang digunakan baik sebagai pedoman atau prinsip hidup selalu mengalami tingkat kompleksitasnya dalam memberikan batasan definisi istilah (bahasa) yang jelas oleh para ahli, terlebih ketika ia sudah sampai kepada masayarakat luas yang terkadang seenak perut menafsirkan suatu istilah (bahasa), tanpa merasa bertanggungjawab dan menyadari adanya akal dan pikiran sebagai hikmah yang mengukuhkannya sebagai cogito ergo sum. Akhirnya konflik.
Masih ingatkah kita dengan beberapa kasus bahasa dan perbuatan pejabat di Unram dituntut mahasiswa gara-gara saat aksi muncul perkataan yang dianggap kasar; seperti tuntutan dosen di FKIP, dosen di Fakultas Teknik, dan sikap dosen yang menganggap diri paling berpengaruh sehingga merasa berhak memukul mahasiswa, seperti kasus dosen ekonomi ketika Ospek 2007 FE. Pejabat-pejabat itu mendapat teguran besar dari rektorat, lalu ujung-ujungnya dimaafkan, pun itu atas kesepakatan mahasiswa sebelumnya.
Bahasa merupakan cermin sikap yang paling dasar. Seperti apa yang dikatakan tokoh filsuf dan linguis dunia, John Langshaw Austin, bahwa dalam bahasa manusia terdapat juga tindakan yang dimaksudkan. Oleh karenanya bahasa mesti dianalisis pada saat tuturan diproduksi. Berbeda dengan Austin, Chomsky menganggap bahasa sebagai cermin pikiran manusia. Objek bahasa yang harus ditelaah bukanlah ujaran oleh individu melainkan intuisinya tentang bahasanya. Di sini menyangkut gramatikal dan tidaknya kalimat yakni bagaimana memformulasikan seperangkat kaidah pembentukan kalimat, kaidah penafsiran, dan kaidah pengucapan. Dengan mempelajari semua itu secara rinci kita akan mengetahui ciri-ciri inheren dari pikiran manusia. Terdapat juga kaum positifis menganggap bahasa itu sebagai sesuatu yang analitis, struktural, apa adanya, maka ia harus dimaknai sesuai dengan makna kamus bahasa itu (apa adanya/harfiah/logis). Sifat bahasa ini otonom, tidak peduli siapa yang mengucapkan, pada siapa/apa, dan konteks bagaiman kata itu diucapkan. Dari konteks ini, bahasa (logis) merupakan institusi-formalisme bahasa. Artinya jika institusi bahasa dianggap seperti itu, maka kata-kata harus dianalisis secara terinstitusi, dan hasilnya menunjukkan kebenaran analitis yang terinstitusi pula. Sedangkan menurut Austin tadi meniscayakan analisis bahasa dari konteks penggunaannya yang tidak hanya menekankan pada makna kata/teks berdasarkan kamus semata tetapi juga memperhatikan konteks yang menandakan adanya suatu bentuk tindakan. Penggunaan bahasa yang meniscayakan adanya keterlibatan konteks ini disebut institusi-fungsionalisme bahasa.
Jika demikian bahasa itu, bagaimana dengan bahasa yang diucapkan M. Nasir, SH, MH tadi? Dari konsep bahasa di atas, teradapat tiga opsi jawaban. Pertama, kalau misalnya mau menghukum, maka ia juga harus dihukum secara institusi kebahasaan baik dengan pendekatan formalisme maupun fungsionalisme. Permasalahannya, sanggupkah kita mengusut tuntas bahasa Nasir, pun itu setelah kita sepakat (hasil analisis) makna secara universal bahwa bahasa yang digunakan itu, apakah ia baik atau tidak baik, logis atau tidak. Kedua, dengan mengambil sikap apatis atau mengategorikanya ke dalam kelompok orang yang menggunakan bahasa tanpa memahami bahasanya, dengan konsekuensi menihilkan moral (konteks akademiks seperti di kampus yang dihuni oleh orang-orang yang intelektual—tempat berkumpulnya manusia bertamaddun).
Ketiga, masalah IKIP adalah masalah pendidikan. Ketika berbicara pendidikan khususnya perguruan tinggi maka yang bertanggung jawab tidak hanya IKIP, tetapi UNRAM dan beberapa perguruan tinggi yang tersebar di NTB harus ikut bertanggungjawab. Semua satuan pendidikan tersebut harus mampu mengadakan dialog yang sekiranya mempu mengurangi beban mental IKIP, mahasiswa, dan masyarakat.

Maldini Salahkan Pemain Muda

INILAH.COM, Milan - Kapten AC Milan Paolo Maldini mengungkapkan alasan mengapa I Rossoneri selalu gagal meraih Scudetto beberapa tahun terakhir. Semuanya karena Milan menggunakan pemain muda.

Setelah memenangkan Scudetto pada 2004, Milan gagal merajai liga domestik. Meski sempat sukses meraih gelar Liga Champions pada 2007, namun I Rossoneri tampak tidak bertaji jika berlaga di Serie.

Maldini menilai situasi ini dialami Milan karena kebijakan Milan yang ingin menerapkan lebih banyak pemain muda dalam tim.

"Ini sedikit aneh. Sejak 1999, klub (Milan) mulai menerapkan kebijakan untuk menggunakan pemain muda, yang tidak membawa hasil bagus. Baru pada 2002 kami mulai membeli pemain berpengalaman seperti Alessandro Nesta, Clarence Seedorf, dan lainnya. Orang bilang Milan tim tua, tapi kami membeli banyak pemain muda, Yoann Gourcuff, Alberto Gilardino, dan Pato," ujar Maldini.

"Tentu, ketika Anda hanya menggunakan pemain muda, seperti masa Alberto Zaccheroni, susah untuk meraih kemenangan," kilahnya.[S2]




Waktu

orang sering terlena dengan disiplin bidangnya
ia telah berada jauh
lupa dengan kenyataan dan relaitas sebenarnya
pragmatiskah?
Tentu jangan, itu Cuma persoalan waktu dan proses
jangan sedikit-dikit bicara soal hasil
bagiku itu terlalu sempit
lebih baik terangkan aku tentang konsep waktu yang sederhana
melebihi tuntutan hasil yang kau maksudkan.

Satu diskusi yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah tentang “waktu”. Waktu menjelma dalam persenyawaan materi. Dia seolah-olah sosok yang hidup yang selalu menemani ruang, gerak, dan langkah setiap hembusan nafas. Berbagai identitas tak jarang dititahkan atasnya. Ada yang mengatakan waktu adalah uang, waktu adalah pedang, waktu adalah masa /era dan macam-macam dengan waktu. Bagi kelompok yang mengimani identitas pertama mengandaikan kesempatan yang tidak boleh lepas untuk mendapatkan sesuatu yang namanya uang, kelompok yang kedua, masyarakat khususnya budaya arab yang sebagian besar umat islam di Indonesia juga mengintegrasikan budaya itu untuk memaknai keberadaan waktu yang berlangsung setiap harinya harus diisi dengan amalan-amalan ibadah kepada sang haliq sebagi bentuk pengabdiaan untuk mendapatkan jaminan keberadaan hari akhir yang diyakini dan diamini berdasarkan anjuran Al-kitab, hadist maupun petuah-petuah yang telah di ijma’kan oleh para ulama’ baik yang beraliran kolot maupun yang senang berkontemporer ria dengan suasana zaman (waktu) yang mereka anggap terus berubah-ubah. Dalam Al-quaran jauh sebelum masa aufklaurung, renaisance maupun neo-kolonialisme telah mengatakan merugi bagi orang-orang yang telah meneledori waktu. Tidak sedikit juga orang yang menganggap waktu adalah era, zaman bahkan rezim dalam kontek kenegaraan. Pada konteks tersebut, waktu ditandai dengan pergantian siang berganti malam, distatiskan melalui perhitungan jam, penangggalan yang diisi dengan nama-nama hari dan bulan, tahun, bahkan abad- hingga bermil-mil hitungan abad yang tak tahu pembatasan jumlahnya dalam statistika. Tak heran jika waktu menjadi ‘alat peninjauan’ yang telah dikultuskan. Waktu telah menjadi ukuran. Masa yang telah berlalu yang diisi dengan berbagai peritiwa dengan mudah disebut sejarah. Tak sedikit ia dirangkum dalam catatan-catan pembukuan dan tak lepas dari sifat subyektifitas penulisnya sebagai sifat manusia yang selalu melekat dan beberapa obyektifitas yang terbatas pada rasionalitas dan pencitraan realitas indra. Dari pengukuran ini muncul keyakinan untuk menentukan masa; dulu, sekarang, dan yang akan datang. Ada pernyataan “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak mrelupakan sejarah”, “guru adalah pengalaman yang terbaik”. Kedua pernyataan ini merupakan titah untuk mengidentifikasikan waktu agar kita dapat belajar, mengarifi, menghargai selanjutnya menentukan sikap dalam mengisi waktu berikutnya (masa depan), dengan kata lain re-evaluasi dalam rangka rekonstruksi.
Ada juga orang yang hanya menganggap waktu adalah masa sekarang dimana kita bisa melakukan apa-apa. Masa lalu tidak pernah ada dan masa depan adalah misteri. Seperti tokoh Penunggang Unta yang digambarkan Paulo Coelho dalam novel Sang Alkemis. Pada suatu perjalanan sang bocah di gurun menuju Mesir mencari harta karun yang tertanam di sekitar bagunan piramida yang menjadi makam raja-raja mesir. Di perjalanan si bocah berteman dengan penunggang unta. Sudah menjadi kebiasaan gurun, para karavan yang melintasi Sahara siap akan kematian, karena luasnya gurun, terinknya matahari, dinginnya angin belum lagi badai gurun dan terkadang menghadapi gerombolan perampok. Sehingga dalam suatu perjalanan harus ada yang menjadi pemimpin karavan yang cukup berpengalaman tentang gurun. Ketika di perjalanan, terdapat tanda-tanda yang membahayakan. Tetapi si bocah heran melihat penunggang unta yang kelihatan tenang-tenang dan tetap bersahaja menghadapi misteri gurun itu. Penunggang unta lalu berkata,” “Aku hidup”, katanya pada sang bocah, saat mereka makan seikat kurma, tanpa api unggun dan tanpa bulan. Saat aku makan, yang kupikirkan ya cuma makan, bila aku sedang berbaris ya aku hanya berkonsentrasi pada baris. Kalau aku harus bertempur, itu adalah hari yang sama baiknya untuk mati seperti semua hari yang lain”.
Dari pernyataan penunggang unta itu dapat dipahami gambaran waktu dijelaskan dengan kesederhanaan dalam novel sang alkemis. Istilah waktu secara sadar begitu dihargai dengan mempertanggungjawabkannya dan kualitas serta ikhtiar yang optimal ditentukan saat itu juga tanpa mengalkulasikan sebuah ‘hasil’ yang sebenarnya telah melekat pada usaha yang dilakukan itu dan pasti menampakkan dirinya sendiri tanpa harus dihitung-hitung. Tak terpaut pada persoalan hasil sedang masa depan penuh misteri. Masa yang nyata adalah masa sekarang. Kalaupun harus terjadi sesuatu entah di masa lalu maupun akan datang, maka sama artinya dengan apa yang mungkin terjadi sekarang. Pekerjaan terbaik adalah apa yang dapat kita lakukan sekarang. Semua telah “termaktub”, ungkap seorang pedagang berlian pada si bocah saat bekerja di toko berliannya.


Minggu, 17 Januari 2010

Media dan orientasinya?*

Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam. Louis Althusser (1971 dalam Sobur 2009) menulis bahwa media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama akan anggapannya dengan kekuasaan sebagai sarana legitimasi. Althusser menganggap media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus). Akan tetapi, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersuborsdinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi.


Dari dua pandangan di atas dapat diketahui bahwa media dapat menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Bagaimanapun pandangan kedua tokoh di atas berbeda, jelas bahwa media tidak bisa lepas dari keberpihakan, baik dalam hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, maupun internal keredaksian media sendiri.

Media dan rupa masyarakat kekinian

Jika bicara media di Indonesia pasca reformasi ‘98 kayaknya kompleks ya? Hampir kedua pendapat tentang media oleh embah sosialis eropa di atas memaksa kita harus berputar-putar dulu untuk menemukan benang merahnya. Lihat saja pada merebaknya jenis media elektronik maupun cetak seperti jamur di musim hujan.

Media kini telah bebas. Isu pemberitaan tak lagi melulu politik, kekuasaan, ekonomi, atau cara bertakwa kepada Tuhan dan negara. Pukulan telak atas matinya rezim kabinet pembangunan yang otoritarian membuat media lepas dari jerat pembingkaian (framing) pemberitaan lewat menteri penerangan. Isu yang sesuai “selera” penguasa kini beralih sepenuhnya pada amanat UUD ’45 dan dapur redaksi. Media bebas memilih isu mulai dari eksploitasi realitas prilaku masyarakat yang terjejal politik global sampai pada eksplorasi ranah kekeluargaan, bahkan memasuki ruang individu yang sangat privatif.

Walaupun begitu adanya media kekinian, kebebasan nampaknya suatu kata yang masih cukup lemah untuk mendefinisikan media. Media tetaplah media. Ia adalah tool yang memiliki keterbatasan pada sifat-sifat kejurnalistikannya; harus berimbang (cover bold side), cek dan recek, indrawi (objektif, sesuai realita, dan faktual) dan fungsinya (untuk informasi, provokasi, mendidik, menghibur, dll.). Keterbatasan sifat dan fungsi meniscayakan siapapun berhak membuat sekaligus memiliki media. Orang telah berwawancara, mengamati, dan memenuhi etika jurnalistik dan kemudian menyampaikan hasilnya itulah karya jurnalistik (media).

Jurnalisme lahir ketika manusia mulai menyadari rasa ingin mengetahui sesuatu baik yang terkait dengan dirinya maupun di luar dirinya. “Kepentingan”, barangkali kata yang tepat untuk menunjuk sifat yang ada dan melekat pada diri manusia. Atas dasar kata ini, manusia memenuhi dirinya untuk mengatahui bahkan untuk diketahui. Tak berlebihan jika kepentingan memotivasi manusia mengartikulasikan eksistensinya. Terlepas kepentingan manusia terkait dengan ekonomi, ideologi, politik atau pemenuhan rasa keyakinan (agama), yang jelas kepentingan ini telah melembaga. Sekelompok orang telah banyak memanfaatkannya, termasuk menjadikannya sebagai wadah “pengumpul pengetahuan” atau yang kita sepakati dengan sebutan media.

Pada kondisi itu, media menjadi sebuah sistem, organ, lembaga seperti adanya Aviso, sebuah suratkabar pertama yang terbit di Jerman pada 1906 dan Relation di Strasbourg. Jauh sebelum adanya media di Jerman, bentuk penyampaian informasi telah ada sejak masa Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di kota. Di Roma Acta Diurna. Bentuknya masih sederhana, berupa panflet-panflet yang ditempel-tempelkan di tempat-tempat strategis. Beritanyapun masih mengulas perstiwa-peristiwa harian seputar pemerintah, berita kelahiran dan kematian. Perkembangan media sejak itu mulai berkembang sampai sekarang ini. Tentu saja perkembangan media sesuai dinamisme zamannya.

Perkembangan kebudayaan yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perubahan politik, ekonomi, dan teknologi telah begitu berpengaruh kuat dalam merubah prilaku manusia. Media dengan posisi strategisnya berperan penting juga dalam perubahan itu. Termasuk membantu manusia menjadi manusia yang beradab (civil society) seperti yang dicita-citakan dunia.

Intensitas informasi yang kuat dan dukungan teknologi yang kian canggih diakui atupun tidak merupakan sumbangsih media (cetak/elektronik) yang memengaruhi manusia ke arah penyeragaman (globalisasi). Budaya orang Amrik, Eropa, Afrika, Timur Tengah sono hampir tiap hari tak luput dari perhatian kita di Indonesia. Bahkan tak jarang tipe perilaku orang-orang di belahan dunia di atas telah banyak memengaruhi pula tindak tanduk orang-orang yang ada di pelosok-pelosok kampung di Indonesia sekalipun. Adanya ungkapan kebarat-baratan atau ketimuran sebetulnya merupakan efek yang cukup nyata adanya pengaruh budaya luar di negeri Indonesia.

Pososi media menjadi biner yakni baik dan buruk, berguna dan tak berguna, dll. Jauh dari itu, dari aspek moral bangsa, ekonomi, politik, ideologi, agama, media menjadi rupa yang beragam bentuk bahkan tak terdefinisikan sama sekali. Atas dasar kepentingan pun orang bisa saja melakukan hal-hal yang melekat di media itu sendiri seperti sifat-sifat kejurnalistikannya; harus berimbang (cover bold side), cek dan recek, indrawi (objektif, sesuai realita, dan faktual) dan fungsinya (untuk informasi, provokasi, menghibur, dll.) dan kemudian dianggap media yang tentu saja di Indonesia telah dilindungi oleh UUD ’45 dan undang-undang tersendiri yakni Undang-Undang Pers.

Ironi media hampir sulit dihindarkan. Media dikatakan berguna? Ya! Media terkadang membuat masyarakat harus limbung pada jati dirinya, yang akhirnyapun melimbah pada tipe kebangsaan dan kenegaraan? Ya!

Nampak bahwa kegalauan transisi yang ditunjukkan tak lebih dari emosi reformasi yang seolah menyeragamkan “koor” dengan teriakan kebebasan. Banyak bukti bahwa suara kebebasan belum lepas dari topeng nafsu kekuasaan.

Sekarang, masihkah kita bertanya tentang kebineran media? Aku kira orientasi media kekinian adalah orientasi manusia yang menjadikannya sebagai “tool” yang tak sekadar memenuhi kebutuhan tetapi juga ekspresi manusia atau sekelompok manusia untuk menyatakan eksistensinya—tanpa harus menghilangkan rasa keadilan. Rasa keadilan yang tersisa inilah harus tetap dipelihara. Media tidak perlu repot dengan moral, sebab ia sendiri terkadang bias. Media yang mendasarkan diri pada nilai-nilai keadilan pada dasarnya ia telah melampaui batas-batas moral itu sendiri.

*Bahan diskusi bersama kawan-kawan di HMP2K+WMPM Unram dan SMI Mataram,UKPKM MEDIA, Rabu malam, 26 Oct.2009.



Kamis, 03 Desember 2009

Nasionalisme (terancam) diTtapal Batas

Manusia lahir, hidup, berkembang, dan mati. Satu hukum alam yang tak terbantahkan. Sebagai mahluk biologis dan berbudaya, manusia lahir sebagai individu-individu yang memiliki kebutuhan berbeda satu sama lain. Hal ini kemudian meniscayakannya hidup dalam kelompok-kelompok dan menentukan sistem nilai. Sistem nilai membuka ruang bagi terbentuknya sebuah identitas atas dasar kebutuhan, perasaan yang sama, dan menentukan tujuan hidup secara bersama. Adanya suku, adat-istiadat, bahasa, agama, pendidikan dan terciptanya ilmu pengetahuan tak lain sebagai upaya mengidentitaskan diri secara sederhana yang cenderung melekat dan menjadi suatu yang mengikat serta ajeg dibangun dalam satu kelompok atau lebih luasnya disebut oleh para ahli sosial dengan “masyarakat”. Demikian, nyatalah sifat manusia yang serba praktis. Dan karena sadar, pada konsep negara-bangsa lahirlah Nasionalisme.
Indonesia adalah negara yang secara politik terletak di wilayah Sabang sampai Marauke dan ditempati masyarakat di setiap daerahnya. Soal masyarakat, tentu kita tidak bisa berbicara “monokultur” apalagi memaksakannya ke arah sana karena masyarakatnya memiliki sistem/pola hidup yang “beragam kultur” berdasarkan identitas seperti yang disebutkan sebelumnya dan juga sesuai dengan karakteristik demografi wilayah yang mereka tempati.
Hamparan kepulauan itu selanjutnya kita sebut NKRI. Begitu kita telah menyepakatinya sebagai pengejawantahan dari negara merdeka yang kaya alam dan kaya budaya yang terbungkus dalam satu keutuhan Repulik Indonesia. Yang terabsurd, potensi kekayaan sebagai rahmat seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi, pada kenyataannya kekayaan itu cenderung didominasi oleh satu/beberapa golongan secara terbatas sehingga melahirkan rasa iri golongan lainnya yang mengakibatkan tercerai berainya keberagaman identitas dan bahkan menjadi api yang menyulut pertikaian antarkelompok. Contohnya Papua. Peristiwa penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga pegawai tambang PT Freeport pada tanggal 11-13 Juli kemarin merupakan bukti atas masih timpangnya perlakuan pemerintah kepada rakyatnya. Itu bahkan terjadi tiga hari setelah pemilihan umum presiden, 8 juli 2009.
Mereka bertikai oleh sebab perlakuan pemerintah atas kesejahteraan yang tidak setimpal dengan kekayaan alam dan budayanya. Berbagai faktor konflik di Papaua termasuk juga di Aceh dan Maluku telah diteliti para ahli, sebut saja LIPI dalam buku Konflik Kekerasan Internal; Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik 2005. Pengakuan gejala itupun diakui secara gamblang dalam rubrik oponi KOMPAS (11/o8/09), NKRI Versus Papua Merdeka, ditulis oleh Petrus Pit Supardi, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua. Petrus membenarkan fenomena konflik dalam rangka kemerdekaan Papua memang tidak pernah luput sejak diintegrasikan ke pangkuan NKRI tahun 1969. Yang membuat terperangah lagi, tanggal 17 Agustus mereka melakukan upacara bendera Bintang Kejora sebagai lambang kemerdekannya dan diiringi lagu perjuangan rakyat Papua, Hai Tanahku Papua sebagaimana layaknya Upacara Kemerdekaan RI tiap tanggal 17 Agustus.
Terlepas penembakan pegawai Freeport itu dianggap kriminal biasa atau perlawanan OPM, dan pelaksanaan Upacara Bendera itu dapat dimaknai dengan berbagai simbol, ideologi atau macam stigma lainnya, itu mesti menjadi perhatian serius oleh para penguasa terpilih. Dan ungkapan Kelly Kwalik, ketua sparatis Papua yang disiarkan secara langsung oleh satasiun TVOne. Dalam reality show 18 Agustus itu, Kelly Kwalik mengecam keras orang Amerika dan antek-anteknya yang mendominasi dan menguasai tambang PT Freeport.
Saat ini, ilmu pengetahuan diakui bertambah canggih. Banyak cara dan pendekatan dapat dilakukan untuk mendamaikan, termasuk penelitian-penelitian yang dilakukan LIPI. Namun, ilmu pengetahun ternyata bukan jawaban akhir atas kedamaian. Fakta bahwa negara-negara besar berlomba menciptakan senjata-senjata canggih atas nama kedamaian tapi di lain waktu digunakan untuk mengahancurkan dan dihancurkan. Sungguh ruwet binti paradoks. Walau demikian, ilmu bukan berarti berhenti digali samapai Cina. Einstein dalam artikelnya, Mengapa Sosialisme?, berpesan, ilmu tidak untuk membuat tujuan akhir. Ia hanya tahapan yang dapat memberikan cara bagaimana mencapai tujuan akhir. Lantas, bagaimana menyikapi identitas—yang tidak hanya kaya budaya tetapi juga alamnya? Yang tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang tetapi juga tidak menginginkan kesejahteraan masyarakat banyak? Orang-orang yang memaksakan kehendak ke arah monokulktur dan tidak rela menerima realitas keberagaman? Atau kesadaran nasionalismekah yang kian hambar?
Di situlah permasalahannya, banyak perayaan-perayaan yang kita lakukan baik yang sifatnya seremoni, ritual, maupun semacam acara in memorial seperti acara Agustusan yang mengarah pada penguatan jiwa nasionalisme malah lebih ditandai dengan doktrin politik. Buktinya, setiap pemilihan umum berlangsung para calon penguasa dan partai politik berlomba mengumbar visi-misi dan janji yang membuat rakyat se-Indonesia terkesima. Rakyat mau seperti apa lagi? Mereka antusias datang memilih, mereka bahagia dengan seremoni-seremoni itu, mereka bayar pajak, mereka taat hukum dan jika salah di sangsi, tetapi kemiskinan, pengangguran, kesakitan, dan nasib rakyat atas Lapindo Berantas yang bertahun-tahun tidak juga reda? Bagaimana juga dengan nasib para petani yang harga padinya dikebiri dengan harga beras impor yang murah, para nelayan yang tak peduli ombak dan badai, para buruh yang dioutsourcing, minimnya keamanan bagi pahlawan jasa, mahasiswa yang menyuarakan haknya ditahan dan ditembak. Apa itu masalah nasionalisme dari sisi lain sehingga harus diperlakukan berlainan dari secuil golongan yang diistimewakan?
Di waktu yang sama kita dengan mudah berbicara pendidikan geratis, kesehatan murah, kenaikan upah buruh dan kesejahteraan rakyat, agama, dan prestasi budaya lainnya tetapi di belakangnya, undang-undang dan kebijakan yang berkaitan dengan semuanya masih berbau komersil dan bergantung pada utang serta tertindas pada dominasi modal asing yang semakin liar berkuasa di sektor-sektor vital yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia—tanpa sikap anti pasar.
Pada titik itu, perlu diingat bahwa tingkat kekecewaan terbatas pada sejauh mana kita bisa “menahan” penderitaan dan kesiapan mental menerimanya, lebih dari itu nasionalisme sebagai konsep negara-bangsa dengan watak kompromis-sinkretik (mencari-cari kesamaan, keselarasan, dan melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial—tidak punya target untuk memihak pada kubu yang sedang berkonfrontasi) berlebihan akan membuat Indonesia seperti orang “mati suri”, legowo pada bentuk penjajahan gaya baru negara asing seperti yang kita semua sadari hari ini.



Pena Kampus, Agustus 2009