Minggu, 17 Januari 2010

Media dan orientasinya?*

Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam. Louis Althusser (1971 dalam Sobur 2009) menulis bahwa media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama akan anggapannya dengan kekuasaan sebagai sarana legitimasi. Althusser menganggap media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus). Akan tetapi, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersuborsdinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi.


Dari dua pandangan di atas dapat diketahui bahwa media dapat menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Bagaimanapun pandangan kedua tokoh di atas berbeda, jelas bahwa media tidak bisa lepas dari keberpihakan, baik dalam hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, maupun internal keredaksian media sendiri.

Media dan rupa masyarakat kekinian

Jika bicara media di Indonesia pasca reformasi ‘98 kayaknya kompleks ya? Hampir kedua pendapat tentang media oleh embah sosialis eropa di atas memaksa kita harus berputar-putar dulu untuk menemukan benang merahnya. Lihat saja pada merebaknya jenis media elektronik maupun cetak seperti jamur di musim hujan.

Media kini telah bebas. Isu pemberitaan tak lagi melulu politik, kekuasaan, ekonomi, atau cara bertakwa kepada Tuhan dan negara. Pukulan telak atas matinya rezim kabinet pembangunan yang otoritarian membuat media lepas dari jerat pembingkaian (framing) pemberitaan lewat menteri penerangan. Isu yang sesuai “selera” penguasa kini beralih sepenuhnya pada amanat UUD ’45 dan dapur redaksi. Media bebas memilih isu mulai dari eksploitasi realitas prilaku masyarakat yang terjejal politik global sampai pada eksplorasi ranah kekeluargaan, bahkan memasuki ruang individu yang sangat privatif.

Walaupun begitu adanya media kekinian, kebebasan nampaknya suatu kata yang masih cukup lemah untuk mendefinisikan media. Media tetaplah media. Ia adalah tool yang memiliki keterbatasan pada sifat-sifat kejurnalistikannya; harus berimbang (cover bold side), cek dan recek, indrawi (objektif, sesuai realita, dan faktual) dan fungsinya (untuk informasi, provokasi, mendidik, menghibur, dll.). Keterbatasan sifat dan fungsi meniscayakan siapapun berhak membuat sekaligus memiliki media. Orang telah berwawancara, mengamati, dan memenuhi etika jurnalistik dan kemudian menyampaikan hasilnya itulah karya jurnalistik (media).

Jurnalisme lahir ketika manusia mulai menyadari rasa ingin mengetahui sesuatu baik yang terkait dengan dirinya maupun di luar dirinya. “Kepentingan”, barangkali kata yang tepat untuk menunjuk sifat yang ada dan melekat pada diri manusia. Atas dasar kata ini, manusia memenuhi dirinya untuk mengatahui bahkan untuk diketahui. Tak berlebihan jika kepentingan memotivasi manusia mengartikulasikan eksistensinya. Terlepas kepentingan manusia terkait dengan ekonomi, ideologi, politik atau pemenuhan rasa keyakinan (agama), yang jelas kepentingan ini telah melembaga. Sekelompok orang telah banyak memanfaatkannya, termasuk menjadikannya sebagai wadah “pengumpul pengetahuan” atau yang kita sepakati dengan sebutan media.

Pada kondisi itu, media menjadi sebuah sistem, organ, lembaga seperti adanya Aviso, sebuah suratkabar pertama yang terbit di Jerman pada 1906 dan Relation di Strasbourg. Jauh sebelum adanya media di Jerman, bentuk penyampaian informasi telah ada sejak masa Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di kota. Di Roma Acta Diurna. Bentuknya masih sederhana, berupa panflet-panflet yang ditempel-tempelkan di tempat-tempat strategis. Beritanyapun masih mengulas perstiwa-peristiwa harian seputar pemerintah, berita kelahiran dan kematian. Perkembangan media sejak itu mulai berkembang sampai sekarang ini. Tentu saja perkembangan media sesuai dinamisme zamannya.

Perkembangan kebudayaan yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perubahan politik, ekonomi, dan teknologi telah begitu berpengaruh kuat dalam merubah prilaku manusia. Media dengan posisi strategisnya berperan penting juga dalam perubahan itu. Termasuk membantu manusia menjadi manusia yang beradab (civil society) seperti yang dicita-citakan dunia.

Intensitas informasi yang kuat dan dukungan teknologi yang kian canggih diakui atupun tidak merupakan sumbangsih media (cetak/elektronik) yang memengaruhi manusia ke arah penyeragaman (globalisasi). Budaya orang Amrik, Eropa, Afrika, Timur Tengah sono hampir tiap hari tak luput dari perhatian kita di Indonesia. Bahkan tak jarang tipe perilaku orang-orang di belahan dunia di atas telah banyak memengaruhi pula tindak tanduk orang-orang yang ada di pelosok-pelosok kampung di Indonesia sekalipun. Adanya ungkapan kebarat-baratan atau ketimuran sebetulnya merupakan efek yang cukup nyata adanya pengaruh budaya luar di negeri Indonesia.

Pososi media menjadi biner yakni baik dan buruk, berguna dan tak berguna, dll. Jauh dari itu, dari aspek moral bangsa, ekonomi, politik, ideologi, agama, media menjadi rupa yang beragam bentuk bahkan tak terdefinisikan sama sekali. Atas dasar kepentingan pun orang bisa saja melakukan hal-hal yang melekat di media itu sendiri seperti sifat-sifat kejurnalistikannya; harus berimbang (cover bold side), cek dan recek, indrawi (objektif, sesuai realita, dan faktual) dan fungsinya (untuk informasi, provokasi, menghibur, dll.) dan kemudian dianggap media yang tentu saja di Indonesia telah dilindungi oleh UUD ’45 dan undang-undang tersendiri yakni Undang-Undang Pers.

Ironi media hampir sulit dihindarkan. Media dikatakan berguna? Ya! Media terkadang membuat masyarakat harus limbung pada jati dirinya, yang akhirnyapun melimbah pada tipe kebangsaan dan kenegaraan? Ya!

Nampak bahwa kegalauan transisi yang ditunjukkan tak lebih dari emosi reformasi yang seolah menyeragamkan “koor” dengan teriakan kebebasan. Banyak bukti bahwa suara kebebasan belum lepas dari topeng nafsu kekuasaan.

Sekarang, masihkah kita bertanya tentang kebineran media? Aku kira orientasi media kekinian adalah orientasi manusia yang menjadikannya sebagai “tool” yang tak sekadar memenuhi kebutuhan tetapi juga ekspresi manusia atau sekelompok manusia untuk menyatakan eksistensinya—tanpa harus menghilangkan rasa keadilan. Rasa keadilan yang tersisa inilah harus tetap dipelihara. Media tidak perlu repot dengan moral, sebab ia sendiri terkadang bias. Media yang mendasarkan diri pada nilai-nilai keadilan pada dasarnya ia telah melampaui batas-batas moral itu sendiri.

*Bahan diskusi bersama kawan-kawan di HMP2K+WMPM Unram dan SMI Mataram,UKPKM MEDIA, Rabu malam, 26 Oct.2009.