Kamis, 03 Desember 2009

Nasionalisme (terancam) diTtapal Batas

Manusia lahir, hidup, berkembang, dan mati. Satu hukum alam yang tak terbantahkan. Sebagai mahluk biologis dan berbudaya, manusia lahir sebagai individu-individu yang memiliki kebutuhan berbeda satu sama lain. Hal ini kemudian meniscayakannya hidup dalam kelompok-kelompok dan menentukan sistem nilai. Sistem nilai membuka ruang bagi terbentuknya sebuah identitas atas dasar kebutuhan, perasaan yang sama, dan menentukan tujuan hidup secara bersama. Adanya suku, adat-istiadat, bahasa, agama, pendidikan dan terciptanya ilmu pengetahuan tak lain sebagai upaya mengidentitaskan diri secara sederhana yang cenderung melekat dan menjadi suatu yang mengikat serta ajeg dibangun dalam satu kelompok atau lebih luasnya disebut oleh para ahli sosial dengan “masyarakat”. Demikian, nyatalah sifat manusia yang serba praktis. Dan karena sadar, pada konsep negara-bangsa lahirlah Nasionalisme.
Indonesia adalah negara yang secara politik terletak di wilayah Sabang sampai Marauke dan ditempati masyarakat di setiap daerahnya. Soal masyarakat, tentu kita tidak bisa berbicara “monokultur” apalagi memaksakannya ke arah sana karena masyarakatnya memiliki sistem/pola hidup yang “beragam kultur” berdasarkan identitas seperti yang disebutkan sebelumnya dan juga sesuai dengan karakteristik demografi wilayah yang mereka tempati.
Hamparan kepulauan itu selanjutnya kita sebut NKRI. Begitu kita telah menyepakatinya sebagai pengejawantahan dari negara merdeka yang kaya alam dan kaya budaya yang terbungkus dalam satu keutuhan Repulik Indonesia. Yang terabsurd, potensi kekayaan sebagai rahmat seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi, pada kenyataannya kekayaan itu cenderung didominasi oleh satu/beberapa golongan secara terbatas sehingga melahirkan rasa iri golongan lainnya yang mengakibatkan tercerai berainya keberagaman identitas dan bahkan menjadi api yang menyulut pertikaian antarkelompok. Contohnya Papua. Peristiwa penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga pegawai tambang PT Freeport pada tanggal 11-13 Juli kemarin merupakan bukti atas masih timpangnya perlakuan pemerintah kepada rakyatnya. Itu bahkan terjadi tiga hari setelah pemilihan umum presiden, 8 juli 2009.
Mereka bertikai oleh sebab perlakuan pemerintah atas kesejahteraan yang tidak setimpal dengan kekayaan alam dan budayanya. Berbagai faktor konflik di Papaua termasuk juga di Aceh dan Maluku telah diteliti para ahli, sebut saja LIPI dalam buku Konflik Kekerasan Internal; Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik 2005. Pengakuan gejala itupun diakui secara gamblang dalam rubrik oponi KOMPAS (11/o8/09), NKRI Versus Papua Merdeka, ditulis oleh Petrus Pit Supardi, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua. Petrus membenarkan fenomena konflik dalam rangka kemerdekaan Papua memang tidak pernah luput sejak diintegrasikan ke pangkuan NKRI tahun 1969. Yang membuat terperangah lagi, tanggal 17 Agustus mereka melakukan upacara bendera Bintang Kejora sebagai lambang kemerdekannya dan diiringi lagu perjuangan rakyat Papua, Hai Tanahku Papua sebagaimana layaknya Upacara Kemerdekaan RI tiap tanggal 17 Agustus.
Terlepas penembakan pegawai Freeport itu dianggap kriminal biasa atau perlawanan OPM, dan pelaksanaan Upacara Bendera itu dapat dimaknai dengan berbagai simbol, ideologi atau macam stigma lainnya, itu mesti menjadi perhatian serius oleh para penguasa terpilih. Dan ungkapan Kelly Kwalik, ketua sparatis Papua yang disiarkan secara langsung oleh satasiun TVOne. Dalam reality show 18 Agustus itu, Kelly Kwalik mengecam keras orang Amerika dan antek-anteknya yang mendominasi dan menguasai tambang PT Freeport.
Saat ini, ilmu pengetahuan diakui bertambah canggih. Banyak cara dan pendekatan dapat dilakukan untuk mendamaikan, termasuk penelitian-penelitian yang dilakukan LIPI. Namun, ilmu pengetahun ternyata bukan jawaban akhir atas kedamaian. Fakta bahwa negara-negara besar berlomba menciptakan senjata-senjata canggih atas nama kedamaian tapi di lain waktu digunakan untuk mengahancurkan dan dihancurkan. Sungguh ruwet binti paradoks. Walau demikian, ilmu bukan berarti berhenti digali samapai Cina. Einstein dalam artikelnya, Mengapa Sosialisme?, berpesan, ilmu tidak untuk membuat tujuan akhir. Ia hanya tahapan yang dapat memberikan cara bagaimana mencapai tujuan akhir. Lantas, bagaimana menyikapi identitas—yang tidak hanya kaya budaya tetapi juga alamnya? Yang tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang tetapi juga tidak menginginkan kesejahteraan masyarakat banyak? Orang-orang yang memaksakan kehendak ke arah monokulktur dan tidak rela menerima realitas keberagaman? Atau kesadaran nasionalismekah yang kian hambar?
Di situlah permasalahannya, banyak perayaan-perayaan yang kita lakukan baik yang sifatnya seremoni, ritual, maupun semacam acara in memorial seperti acara Agustusan yang mengarah pada penguatan jiwa nasionalisme malah lebih ditandai dengan doktrin politik. Buktinya, setiap pemilihan umum berlangsung para calon penguasa dan partai politik berlomba mengumbar visi-misi dan janji yang membuat rakyat se-Indonesia terkesima. Rakyat mau seperti apa lagi? Mereka antusias datang memilih, mereka bahagia dengan seremoni-seremoni itu, mereka bayar pajak, mereka taat hukum dan jika salah di sangsi, tetapi kemiskinan, pengangguran, kesakitan, dan nasib rakyat atas Lapindo Berantas yang bertahun-tahun tidak juga reda? Bagaimana juga dengan nasib para petani yang harga padinya dikebiri dengan harga beras impor yang murah, para nelayan yang tak peduli ombak dan badai, para buruh yang dioutsourcing, minimnya keamanan bagi pahlawan jasa, mahasiswa yang menyuarakan haknya ditahan dan ditembak. Apa itu masalah nasionalisme dari sisi lain sehingga harus diperlakukan berlainan dari secuil golongan yang diistimewakan?
Di waktu yang sama kita dengan mudah berbicara pendidikan geratis, kesehatan murah, kenaikan upah buruh dan kesejahteraan rakyat, agama, dan prestasi budaya lainnya tetapi di belakangnya, undang-undang dan kebijakan yang berkaitan dengan semuanya masih berbau komersil dan bergantung pada utang serta tertindas pada dominasi modal asing yang semakin liar berkuasa di sektor-sektor vital yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia—tanpa sikap anti pasar.
Pada titik itu, perlu diingat bahwa tingkat kekecewaan terbatas pada sejauh mana kita bisa “menahan” penderitaan dan kesiapan mental menerimanya, lebih dari itu nasionalisme sebagai konsep negara-bangsa dengan watak kompromis-sinkretik (mencari-cari kesamaan, keselarasan, dan melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial—tidak punya target untuk memihak pada kubu yang sedang berkonfrontasi) berlebihan akan membuat Indonesia seperti orang “mati suri”, legowo pada bentuk penjajahan gaya baru negara asing seperti yang kita semua sadari hari ini.



Pena Kampus, Agustus 2009