Selasa, 19 Januari 2010

Krisis Akademik

Surat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi tentang belum adanya perpanjangan izin operasional jurusan pendidikan Fisika yang ditujukan ke IKIP Mataram menjadi “tamparan” nyata pendidikan di NTB.

Jurusan yang telah berakhir status izin operasionalnya pada 12 April 2008 ini baru menampakkan reaksi dan aksi pihak lembaga dan mahasisiswa sejak awal Januari 2009. Tanggapan yang mengharapkan “(re)status” itu terlihat massif dalam dialog-dialog. Namun, dialog-dialog yang diadakan pihak lembaga oleh mahasiswa dianggap belum mampu memberikan jawaban pasti tentang nasib Fisika yang baru berusia lima semester itu. Hal tersebut tentu menambah keresahan mahasiswa mengingat kasus pembubaran tiga jurusan (PGTK, Pendidikan Bahasa Jerman, dan Pendidikan Seni Rupa) di IKIP pada tahun 2006 karena tidak layak secara akademik.
Di berbagai perguruan tinggi, hal-hal yang menjadi biang masalah tidak terlepas dari sistem/statuta yang mengaturnya. Sistem yang begitu ketat terkadang tidak sesuai dengan pola pendidikan baik yang terkait dengan pengajarannya, fasilitas belajar, sampai pada hal-hal yang sifatnya merepresivitas kebebasan mimbar akademik, pembunuhan karakter baik satuan pendidikan itu sendiri maupun hakikat dasar manusia sebagai homo educandus (manusia dididik) dan homo educandum (manusia yang mendidik) yang sekaligus membedakannya dengan mahluk lain.
Satuan pendidikan tinggi sering terjebak pada persoalan ekonomi dan sistem otonomi kampus yang memberikan ruang untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas akademik secara mandiri. Dari pengertian otonomi, satuan pendidikan merasa bebas menentukan pola pendidikannya baik dengan cara menerima peserta didik maupun membuka jurusan sekehendaknya termasuk sistem administrasi dana operasional. Konsep otonomi tidak diimbangi dengan infra dan suprastruktur akademik sehingga tidak jarang mengakibatkan proses pelaksanaan akademik menjadi tidak terurus. Efeknya proses pelaksanaan dan proses pembelajaran berakibat pada rendahnya kualitas.
Di sisi lain, otonomi terikat pada ketentuan umum yang diatur oleh pusat (dikti) dan peraturan perundang-undangan sisdiknas yang mengatur secara seragam seluruh sistem pendidikan dari dasar hingga tinggi dengan tujuan menentukan arah cita-cita pembangunan Indonesia secara bersama dan terukur selain mempermudah proses evaluasi secara nasional tingkat kemajuan dan perkambangan kualitas pendidikan. Evaluasi ini kemudian menentukan otoritas dikti/pemerintah pusat untuk memberikan izin operasional membuka dan membubarkan jurusan/pendidikan yang sudah tidak dianggap layak pada satuan pendidikan. Ini sekaligus menjadi batas ruang otonomi itu sendiri, yang termasuk dalam sistem undang-undang yang mengatur syarat-syarat operasional membuka jurusan yang di dalamnya seperti perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa, kualifikasi akademik bagi dosen yang berhak mengajar, kelengkapan fasilitas yang mendukung, studi kelayakan masyarakat dan berbagai administrasi mahasiswa dan satuan pendidikan yang menjadi bahan akreditasi.
Ketidakseimbangan sistem dan fungsi akademik di atas dapat menimbulkan masalah pelaksanaan operasional satuan pendidikan yang mengarah pada terjadinya krisis akademik.
Krisis muncul sebagai pengejawantahan dari hilangnya rasa ketidakpercayaan oleh satu pihak terhadap pihak lain atau dari yang memberikan kepercayaan kepada yang menjalankan kepercayaan. Satu contoh sederhana adalah ketidakpercayaan pada hasil dialog.
Diaolog adalah interaksi percakapan antara dua orang atau lebih dalam membahas suatu permasalahan. Esensi dialog telah dikenal sejak zaman Yunani yakni oleh Plato digunakan sebagai metode pendekatan pembelajaran dan penyelenggaraan simposium mengenai masalah-masalah filsafat, kesusilaan, kesenian, kemasyarakatan dan kenegaraan, yang membedakannya dengan pendekatan yang digunakan Aristoteles yaitu melakukan pendekatan belajar secara peripatetika, yaitu dengan mengajak murid-muridnya berjalan-jalan sambil mengamati dan melakukan klasifikasi berbagai gejala dan peristiwa alam. Dengan demikian dialog merupakan pertukaran pikiran mengenai berbagai permasalahan dengan menggunakan bahasa/tuturan sebagai media yang membedakannya dengan komunikasi tuturan yang tidak menggunkan bahasa (lisan) seperti gerak/tari.
Dikatakan dialog apabila perkatan dimengerti oleh teman/lawan bicara dan adanya saling mempercayai dari apa yang telah didialogkan. Tentu tuturan yang dapat dipercaya dan dipegang serta dijadikan sebagai kerjasama antara pembicara dengan lawan bicara adalah perkataan yang benar yang dapat dibuktikan secara akal-pikiran dan secara nyata/empiris.
Ketidakpercayaan dari hasil dialog atas masalah yang diperbincangkan adalah satu bentuk krisis yang muncul akibat ketidaksesuaian dari apa yang telah diperbincangkan sebelumnya. Sedangkan hal-hal yang dilakukan seperti dialog tetapi tidak memenuhi kriteria materi pokok konsep dialog itu adalah sesuatu semacam “curhat”. Dialog bukan pula “curhat yang terlokalisasi”.
Aksi IKIP adalah krisis akademik yang terjadi dilingkungan pendidikan yang menganggap diaolog belum menemukan titik terang permasalahan. Tidak heran aksi mahasiswa yang terjadi adalah bentuk ketidakpercayaan atas hasil dialog tersebut.
Walaupun bentuk aksi tidak seperti tragedi yang disebut mahasiswanya sebagai “IKIP Berdarah” atau “tragedi 22 Agustus 2006” yang menewaskan M. Ridwan dan beberapa mahasiswa luka-luka berat dan ringan yang terkena tusukan tajam oleh “pengaman bayaran” serta penangkapan 23 orang mahasiswa.
Kini Jurusan Pendidikan Fisika terancam pembubaran. Dialog terbuka yang diadakan tanggal 16 Januari sebagai pendekatan yang masih diyakini mampu memberikan penjelasan dan titik terang permasalahan ternyata tidak memberi keputusan dan kesepakatan yang jelas.

Cerita Aksi di Luar Tembok IKIP
Sabtu, 17 Januari, sekitar pukul 10-11.30 WITA, saat saya duduk-duduk ngudut di kantin FKIP setelah selesai diskusi revisi RUU BHP 17 Desember 2008 di Unram, tiba-tiba muncul berlarian puluhan mahasiswa dari gerbang kantin MITA, di depan FKIP Unram. Mahasiswa itu dikejar-kejar oleh scurity IKIP. Sampai di kampus Unram ini, mereka kumpul sejenak dan terlihat saling mengkoordinasikan gerakan mereka, spontan mengambil batu-batu sebesar genggaman lantas saling lempar dengan scurity yang menyebabkan beberapa kaca gedung perkuliahan IKIP yang baru selesai dibangun tiga tahun silam itu pecah. Aksi lempar tidak lama kemudian mampu diamankan oleh bantuan scurity FKIP dan aksi bubar. Namun, selang waktu 20-an menit, mahasiswa-mahasiswa itu datang kembali lalu melanjutkan aksi lempar.
Aksi lebih memanas. Mahasiswa FKIP yang tahu tadinya hanya yang kebetulan duduk-duduk diparkiran, kini lainnya ikut berlarian dari berbagai ruangan menonton aksi kedua. Suasana tambah ramai, ketegangan memuncak sendiri dalam diam dan tontonan mahasiswa-mahasiswa FKIP. Gambaran aksi terlukiskan senyap dan menegangkan walaupun terkadang beberapa kali mahasiswa FKIP memberikan tepuk tangan dan sorakan seolah-olah memberi semangat.
Di tengah suasana itu, beberapa scurity Unram datang “ikut campur” untuk mengamankan. Ini dilakukan karena menurut pejabat yang mengomandoi, M. Nasir SH, MH, pejabat Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Unram, menganggap aksi itu di wilayah unram. Karenanya membuatnya beralasan mengusir aksi. Sedangkan Scurity IKIP hanya bisa diam mengintai dari tembok pembatas antara kedua kampus ini—tembok pembatas administrasi.
Suara megafon dan beberapa scurity Unram yang dikomandoi belum mampu menetralisir. Beberapa kali terdengar teriakan “kata-kata mengusir” oleh Nasir, “pulang…pulang….ini wilayah unram, kalian enggak boleh demo di sini”. Tidak hanya itu, beberapa kalimat bernada mengusir, tidak pantas dan tidak logis sempat diucapkan sekelas pejabat. Walau begitu mahasiswa merasa belum puas. Baru setelah pejabat Unram lainnya; M. Faruk, Kabag. Kemahasiswaan Unram dan M. Ismail, PD III FKIP datang ikut mengusir. Mahasiswa akhirnya mundur dan beberapa di antaranya mencari jalan lain untuk mendekati gedung IKIP.
Scurity IKIP yang tadinya hanya bisa menonton dan mengintai di balik tembok setinggi kira-kira satu setengah meter tiba-tiba meloncat, mengejar mahasiswa yang mendekat sampai lapangan bola voli pasir. Melihat tindakan itu, mereka (scurity IKIP) diusir juga oleh pejabat Unram. Pengusiran ini menimbulkan percekcokan antara M.Nasir dan scurity IKIP, masing-masing dengan alasan; pejabat unram dengan wilayahnya sedangkan scurity IKIP menganggap scurity unram tidak mampu mengamankan massa aksi yang tetap mendekati gedung IKIP. Masih di Unram, tidak lama polisi dan Satpol PP datang menetralkan keadaan.
Massa aksi terlihat berdiri di bawah pohon jati, belakang gedung JPKMK yang jaraknya dari tempat percekcokan kira-kira 30-an meter. Massa yang masih berdiri perlahan satu persatu bubar.

Bahasa Sebagai Landasan Memahami Sikap Manusia
Satu kesan yang bisa menjadi renungan. Adalah perkatan M. Nasir yang kedengarannya tak logis dan tak pantas dijadikan main-main ketika membubarkan aksi, yakni perkataan, “….kalian pulang, ini wilayah Unram, kalau tidak mau…saya bisa memprovokasi mahasiswa saya untuk mengusir kalian”. Begitu teriaknya berulang-ulang sambil menenteng megafon. Mendengar kata-kata itu, (kontan) mahasiswa FKIP pada ketawa.
Kok tertawa? Manusia normal biasanya tertawa ketika melihat dan mendengar atau merasakan sesuatu yang lucu. Lantas, dimanakah letak keberterimaan kata memprovokasi, mengusir, direspon dengan ketawa?
Kalimat mengusir itu merupakan kalimat ancaman/intimidasi. Bisa juga berarti ingin mengajak baik-baik tanpa dengan kekerasan (diadu). Dan respon “ketawa” sendiri seolah-olah mahasiswa (FKIP/unram) memahami dirinya sebagai intelektual yang tidak mudah dimanfaatkan. Sampai di sini dapat dipahami berbagai interpretasi bisa saja muncul dan dibenarkan. Hanya saja terkadang rasional namun belum tentu masuk akal. Dan itu masih interpretasi! Artinya bukan berarti tidak ada konsep bahasa untuk menganalisis kebenarn tunggal makna sebuah kalimat.
Kebenaran tunggal interpretasi atau hipotesa akan pasti jika ia dikaji dan diuji secara ilmiah. Persoalan ini adalah masuk dalam kajian bahasa/linguistik.
Sama halnya ketika kita perhatikan fenomena-fenomena penggunaan bahasa yang dianggap kasar dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam komunitas-komunitas tertentu ketika memanggil atau menjawab dengan kata-kata yang tidak dianggap baik tetapi efek yang ditimbulkan sebagai respon kata kasar itu sepertinya tidak ngaruh bahkan seakan-akan menandakan hubungan yang sangat akrab, seperti maaf; kalimat bahasa Lombok (mbe lekan mek sundel?/dari mana kamu sundal?). Kata sundel ini tidak ngaruh sama sekali, ironinya kata itu sering diikuti dan direspon dengan ekspresi ketawa. Dan kedekatan (pergaulan, persahabatan) mereka kelihatan bisa diukur/dipahami.
Kasus kebahasaan di komunitas masyarakat Sasak itu merupakan fakta secara sosial. Akan tetapi penggunaan kata-kata kasar tersebut bukan berarti kata-kata yang bebas dari nilai, norma, dan moral yang berlaku di masyarakat. Ia tetap terikat dalam konteks (situasi/kondisi/siapa dan pada apa) penggunaannya sehingga bahasa dikategorikan baik atau kasar, rasional atau logis. Lantas apa kaitannya dengan dengan kasus kebahasaan yang direspon “para penonton aksi” dengan tertawa?
Kita tahu, bahasa adalah masalah yang cukup pelik, karena kasus tuntutan berat juga sering terjadi gara-gara persoalan bahasa. Bahkan kalau mau membuka wawasan, sumber konflik di muka bumi ini selalu berakar dari bahasa. Pertentangan antara ide dan materi, mistikasi dan persimbolan yang digunakan baik sebagai pedoman atau prinsip hidup selalu mengalami tingkat kompleksitasnya dalam memberikan batasan definisi istilah (bahasa) yang jelas oleh para ahli, terlebih ketika ia sudah sampai kepada masayarakat luas yang terkadang seenak perut menafsirkan suatu istilah (bahasa), tanpa merasa bertanggungjawab dan menyadari adanya akal dan pikiran sebagai hikmah yang mengukuhkannya sebagai cogito ergo sum. Akhirnya konflik.
Masih ingatkah kita dengan beberapa kasus bahasa dan perbuatan pejabat di Unram dituntut mahasiswa gara-gara saat aksi muncul perkataan yang dianggap kasar; seperti tuntutan dosen di FKIP, dosen di Fakultas Teknik, dan sikap dosen yang menganggap diri paling berpengaruh sehingga merasa berhak memukul mahasiswa, seperti kasus dosen ekonomi ketika Ospek 2007 FE. Pejabat-pejabat itu mendapat teguran besar dari rektorat, lalu ujung-ujungnya dimaafkan, pun itu atas kesepakatan mahasiswa sebelumnya.
Bahasa merupakan cermin sikap yang paling dasar. Seperti apa yang dikatakan tokoh filsuf dan linguis dunia, John Langshaw Austin, bahwa dalam bahasa manusia terdapat juga tindakan yang dimaksudkan. Oleh karenanya bahasa mesti dianalisis pada saat tuturan diproduksi. Berbeda dengan Austin, Chomsky menganggap bahasa sebagai cermin pikiran manusia. Objek bahasa yang harus ditelaah bukanlah ujaran oleh individu melainkan intuisinya tentang bahasanya. Di sini menyangkut gramatikal dan tidaknya kalimat yakni bagaimana memformulasikan seperangkat kaidah pembentukan kalimat, kaidah penafsiran, dan kaidah pengucapan. Dengan mempelajari semua itu secara rinci kita akan mengetahui ciri-ciri inheren dari pikiran manusia. Terdapat juga kaum positifis menganggap bahasa itu sebagai sesuatu yang analitis, struktural, apa adanya, maka ia harus dimaknai sesuai dengan makna kamus bahasa itu (apa adanya/harfiah/logis). Sifat bahasa ini otonom, tidak peduli siapa yang mengucapkan, pada siapa/apa, dan konteks bagaiman kata itu diucapkan. Dari konteks ini, bahasa (logis) merupakan institusi-formalisme bahasa. Artinya jika institusi bahasa dianggap seperti itu, maka kata-kata harus dianalisis secara terinstitusi, dan hasilnya menunjukkan kebenaran analitis yang terinstitusi pula. Sedangkan menurut Austin tadi meniscayakan analisis bahasa dari konteks penggunaannya yang tidak hanya menekankan pada makna kata/teks berdasarkan kamus semata tetapi juga memperhatikan konteks yang menandakan adanya suatu bentuk tindakan. Penggunaan bahasa yang meniscayakan adanya keterlibatan konteks ini disebut institusi-fungsionalisme bahasa.
Jika demikian bahasa itu, bagaimana dengan bahasa yang diucapkan M. Nasir, SH, MH tadi? Dari konsep bahasa di atas, teradapat tiga opsi jawaban. Pertama, kalau misalnya mau menghukum, maka ia juga harus dihukum secara institusi kebahasaan baik dengan pendekatan formalisme maupun fungsionalisme. Permasalahannya, sanggupkah kita mengusut tuntas bahasa Nasir, pun itu setelah kita sepakat (hasil analisis) makna secara universal bahwa bahasa yang digunakan itu, apakah ia baik atau tidak baik, logis atau tidak. Kedua, dengan mengambil sikap apatis atau mengategorikanya ke dalam kelompok orang yang menggunakan bahasa tanpa memahami bahasanya, dengan konsekuensi menihilkan moral (konteks akademiks seperti di kampus yang dihuni oleh orang-orang yang intelektual—tempat berkumpulnya manusia bertamaddun).
Ketiga, masalah IKIP adalah masalah pendidikan. Ketika berbicara pendidikan khususnya perguruan tinggi maka yang bertanggung jawab tidak hanya IKIP, tetapi UNRAM dan beberapa perguruan tinggi yang tersebar di NTB harus ikut bertanggungjawab. Semua satuan pendidikan tersebut harus mampu mengadakan dialog yang sekiranya mempu mengurangi beban mental IKIP, mahasiswa, dan masyarakat.