Selasa, 19 Januari 2010

Waktu

orang sering terlena dengan disiplin bidangnya
ia telah berada jauh
lupa dengan kenyataan dan relaitas sebenarnya
pragmatiskah?
Tentu jangan, itu Cuma persoalan waktu dan proses
jangan sedikit-dikit bicara soal hasil
bagiku itu terlalu sempit
lebih baik terangkan aku tentang konsep waktu yang sederhana
melebihi tuntutan hasil yang kau maksudkan.

Satu diskusi yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah tentang “waktu”. Waktu menjelma dalam persenyawaan materi. Dia seolah-olah sosok yang hidup yang selalu menemani ruang, gerak, dan langkah setiap hembusan nafas. Berbagai identitas tak jarang dititahkan atasnya. Ada yang mengatakan waktu adalah uang, waktu adalah pedang, waktu adalah masa /era dan macam-macam dengan waktu. Bagi kelompok yang mengimani identitas pertama mengandaikan kesempatan yang tidak boleh lepas untuk mendapatkan sesuatu yang namanya uang, kelompok yang kedua, masyarakat khususnya budaya arab yang sebagian besar umat islam di Indonesia juga mengintegrasikan budaya itu untuk memaknai keberadaan waktu yang berlangsung setiap harinya harus diisi dengan amalan-amalan ibadah kepada sang haliq sebagi bentuk pengabdiaan untuk mendapatkan jaminan keberadaan hari akhir yang diyakini dan diamini berdasarkan anjuran Al-kitab, hadist maupun petuah-petuah yang telah di ijma’kan oleh para ulama’ baik yang beraliran kolot maupun yang senang berkontemporer ria dengan suasana zaman (waktu) yang mereka anggap terus berubah-ubah. Dalam Al-quaran jauh sebelum masa aufklaurung, renaisance maupun neo-kolonialisme telah mengatakan merugi bagi orang-orang yang telah meneledori waktu. Tidak sedikit juga orang yang menganggap waktu adalah era, zaman bahkan rezim dalam kontek kenegaraan. Pada konteks tersebut, waktu ditandai dengan pergantian siang berganti malam, distatiskan melalui perhitungan jam, penangggalan yang diisi dengan nama-nama hari dan bulan, tahun, bahkan abad- hingga bermil-mil hitungan abad yang tak tahu pembatasan jumlahnya dalam statistika. Tak heran jika waktu menjadi ‘alat peninjauan’ yang telah dikultuskan. Waktu telah menjadi ukuran. Masa yang telah berlalu yang diisi dengan berbagai peritiwa dengan mudah disebut sejarah. Tak sedikit ia dirangkum dalam catatan-catan pembukuan dan tak lepas dari sifat subyektifitas penulisnya sebagai sifat manusia yang selalu melekat dan beberapa obyektifitas yang terbatas pada rasionalitas dan pencitraan realitas indra. Dari pengukuran ini muncul keyakinan untuk menentukan masa; dulu, sekarang, dan yang akan datang. Ada pernyataan “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak mrelupakan sejarah”, “guru adalah pengalaman yang terbaik”. Kedua pernyataan ini merupakan titah untuk mengidentifikasikan waktu agar kita dapat belajar, mengarifi, menghargai selanjutnya menentukan sikap dalam mengisi waktu berikutnya (masa depan), dengan kata lain re-evaluasi dalam rangka rekonstruksi.
Ada juga orang yang hanya menganggap waktu adalah masa sekarang dimana kita bisa melakukan apa-apa. Masa lalu tidak pernah ada dan masa depan adalah misteri. Seperti tokoh Penunggang Unta yang digambarkan Paulo Coelho dalam novel Sang Alkemis. Pada suatu perjalanan sang bocah di gurun menuju Mesir mencari harta karun yang tertanam di sekitar bagunan piramida yang menjadi makam raja-raja mesir. Di perjalanan si bocah berteman dengan penunggang unta. Sudah menjadi kebiasaan gurun, para karavan yang melintasi Sahara siap akan kematian, karena luasnya gurun, terinknya matahari, dinginnya angin belum lagi badai gurun dan terkadang menghadapi gerombolan perampok. Sehingga dalam suatu perjalanan harus ada yang menjadi pemimpin karavan yang cukup berpengalaman tentang gurun. Ketika di perjalanan, terdapat tanda-tanda yang membahayakan. Tetapi si bocah heran melihat penunggang unta yang kelihatan tenang-tenang dan tetap bersahaja menghadapi misteri gurun itu. Penunggang unta lalu berkata,” “Aku hidup”, katanya pada sang bocah, saat mereka makan seikat kurma, tanpa api unggun dan tanpa bulan. Saat aku makan, yang kupikirkan ya cuma makan, bila aku sedang berbaris ya aku hanya berkonsentrasi pada baris. Kalau aku harus bertempur, itu adalah hari yang sama baiknya untuk mati seperti semua hari yang lain”.
Dari pernyataan penunggang unta itu dapat dipahami gambaran waktu dijelaskan dengan kesederhanaan dalam novel sang alkemis. Istilah waktu secara sadar begitu dihargai dengan mempertanggungjawabkannya dan kualitas serta ikhtiar yang optimal ditentukan saat itu juga tanpa mengalkulasikan sebuah ‘hasil’ yang sebenarnya telah melekat pada usaha yang dilakukan itu dan pasti menampakkan dirinya sendiri tanpa harus dihitung-hitung. Tak terpaut pada persoalan hasil sedang masa depan penuh misteri. Masa yang nyata adalah masa sekarang. Kalaupun harus terjadi sesuatu entah di masa lalu maupun akan datang, maka sama artinya dengan apa yang mungkin terjadi sekarang. Pekerjaan terbaik adalah apa yang dapat kita lakukan sekarang. Semua telah “termaktub”, ungkap seorang pedagang berlian pada si bocah saat bekerja di toko berliannya.